Rabu, Desember 22, 2010

Wanita Bercaping Hijau

Rupa-rupanya aku baru saja terbangun dari pingsanku. Aku terheran, dimana aku? kamar siapa? rumah siapa ini? Siapa pula yang menolongku dan membawaku kesini? Berapa lama aku pingsan? Segudang tanya menghias penasaranku. Yang aku ingat terakhir kali aku terjatuh dari pematang sawah. Saat beberapa pemuda desa berkeroyok mengejarku. Beringas, seperti pemburu dari suku-suku pedalaman papua yang tengah mendapati babi buruan. Seketika itu semua gelap. Mungkin aku sudah berkubang penuh lumpur.

Arrghh... Badanku kaku, berat untuk digerakkan. Sekujur persendian tubuhku nyeri. Bahkan kepalaku masih berasa pusing dan sakit, seperti terbentur sesuatu. Mataku masih sedikit berkunang. Menggerakkan tangan saja aku harus perlahan, ngilu. Kuraba bagian kening di atas pelipis kananku, yang kurasa hanya perih. Ah.. ada balutan perban mengitari bagian atas kepalaku itu. Sakit.

Kupaksakan bangkit dari pembaringanku. Dipan yang kutempati berderit beberapa kali seiring jerit kecilku menahan sakit. Sementara aku hanya bisa terduduk menyamping pada dipan bambu yang mulai berhenti berdendang. Kualihkan pandanganku tertuju pada sebuah meja kecil tepat disamping dipan tempat aku duduk sekarang. Ada secangkir teh hangat dan segelas air putih tersedia. Mungkin memang disiapkan untukku jikalau aku telah siuman.

Sedikit demi sedikit tenagaku telah pulih. Kucoba menegakkan badan. Dan aku berdiri sedikit terhuyung. Aku rasa aku sudah kuat, mantap kuhendak melangkah. Astaga.. aku oleng. Sigap tanganku bergerayang mencari sandaran. Praang.. ku senggol cangkir teh itu dan jatuh. Penglihatanku kembali pudar, penuh kerlap-kerlip warna kuning beterbangan. Byaar.. pett.. sekali lagi semua gelap.

***

Riuh kicau burung perlahan membangunkanku pagi ini. Kulihat lagi meja disampingku. Masih ada secangkir teh hangat dan segelas air putih. Untuk kali ini aku sudah sangat kuat untuk bangkit. Aku pun duduk lagi di dipan bambu. Kemudian menyeruput teh hangat yang tersaji, ah.. nikmat. Aku jadi teringat kenanganku dengan istriku. Tiap pagi ia selalu menyajikan teh hangat senikmat ini. Aku memang salah telah meninggalkan dia.

Benar-benar hangat, serasa membakar energiku kembali. Mantap aku berjalan. Kusingkap tirai yang menjadi penutup pintu kamar. Hmmm... rumah yang begitu sederhana. Hanya ada teras kecil dibagian depan. Kemudian pada bagian dalam hanya ada ruang tamu dan dapur yang terpisahkan oleh semacam lemari buffet kayu yang telah nampak usang. Sedangkan kamar tempat aku berdiri tepat berhadapan dengan ruang tamu. dan disamping kananku masih kujumpai sepetak kamar.

Sepi penghuni. Tak ada satupun yang nampak. Sebongkah suarapun tak kudengar sama sekali. Aku menuju pintu depan. baru saja kubuka, aroma segar suasana pedesaan telah menggairahkan semangatku. Segera saja kulemaskan otot-otot badan yang telah lama hanya diam terbaring. Gemeretak tulang dan persendian menambah nyaman pereganganku ini.

Samar kulihat dari arah sumur yang tak jauh dari samping rumah aku berada kini. Sesosok wanita muncul menjauh ke arah jalanan. Mungkin ia tak menyadari ada sepasang mata sedang mengamatinya. Semakin menjauh perempuan bercaping itu. Hilang dibalik rimbunnya belukar. Mungkin hendak ke ladang.

Aku kembali masuk ke dalam rumah tempatku berinap beberapa hari ini. Entahlah aku tidak tahu pasti sudah berapa lama aku disini. Nanti saja kutanyakan pada si empunya rumah ini.

Aku duduk di kursi panjang di ruang tamu. Penat. Kurebahkan saja lagi badan ini. Aku pun terlelap.

***

Lama sudah aku tertidur. Jemari tangan yang menepukku dua kali berhasil membangunkanku.

"Mas.. Koq malah istirahat disini?" suara lembut itu sepertinya pernah kudengar.

"Yaa... aku hanya ingin meluruskan badan koq.." jawabku sekenanya, tanpa tahu siapa wanita yang membangunkanku.

Aku kaget bukan kepalang. Mataku terbelalak, mendapati istriku sendiri yang sudah ada disampingku. Ku kucek-kucek sekali lagi mataku ini. Aku masih tidak percaya. Itu memang Marni, istriku sendiri.

Aku baru sadar dan teringat semua tentang mengapa aku sampai di kampung perbukitan ini. Aku kesini untuk mencari istriku sendiri. Marni yang telah lama ku sia-siakan. Bahkan seingatkan tak pernah kubuat bahagia hatinya. Yang ada hanya luka dan derita yang kuberikan. Semua bermula setelah aku berkenalan dengan yang namanya minuman keras. Aku ingin meminta maaf padanya.

Penduduk kampung yang kemarin mengeroyokku, mungkin mereka suruhan keluarga besarnya Marni. Mereka mungkin masih dendam kepadaku atas perlakuanku kepada Marni. Segera saja ku rengkuh kaki istriku itu, dan ku mohonkan ampun atas semua salahku padanya.

Aku masih menyesali perbuatanku padanya. Aku terus mengiba meminta kemaafannya. Hingga saat kudongakkan kepalaku, linangan air mata Marni menetes. Jatuh tepat di pipi kananku. Marni tersenyum

"Sudahlah Mas Tarjo, berdirilah..."

"Sungguh aku sudah memaafkanmu semenjak kau meninggalkan aku setahun yang lalu.."

Jumat, Desember 10, 2010

School Story #4 "Kamen rider Kuuga"

School Story Chapter 4 : Kamen Rider Kuuga


Masihlah sama mentari di pagi hari itu. Hari kamis tepatnya. Sebagaimana kurikulum mata pelajaran SMA maka untuk Bahasa Indonesia dan Biologi adalah lima jam pengajaran. Dan itu berarti pagi itulah tempat bertemunya dua pelajaran tersebut. Kelasku, 1F pada jam pertama Biologi. Sedangkan kelas sebelah, 1G, Bahasa Indonesia.

Malam kamis punya cerita tersendiri. Dimana Bu Yuni, guru Bahasa Indonesia, selalu menunggu drama Jepang favoritnya tayang pada jam sembilan malam. Dan di rumah, aku pun tak jauh beda, wajib menonton Kamen Rider Kuuga pada jam tujuhnya. Tentu pada stasiun televisi yang berbeda.

Layaknya seperti yang sudah-sudah. Pagi itu pun, kami disuruh menulis materi pelajaran Biologi. Tentu saja Okta mengambil peran penulis papan tulis. Sedangkan Sang Guru, Ibu Suparmi, terkantuk-kantuk dan tidur. Sembari menutup mukanya dengan Buku LKS yang lumayan lebar. Selalu begitu.

Sudah hampir setengah jam lebih kami hanya menulis. Begitu tenang dan sepi. Jika kami ramai mungkin akan membangunkan guru kami itu. Bisa saja beliau langsung marah-marah, mungkin karena tidurnya terganggu kali yach, haha. Beliau kan memang terkenal galak. Banyak yang sudah merasakan omelan dan cercaan beliau. Tapi setahuku di kelasku belum ada. Aman-aman saja.

Bosan aku menyalin tulisan di papan ke buku tulisku. Sudah begitu hanya membuat tangan pegal-pegal saja.

Entahlah, mungkin karena cerita Kamen Rider Kuuga yang semalam. Episode saat sang jagoan mendapat satu kekuatan super lagi. Kostumnya berubah warna menjadi hijau, dan bisa mendengar suara jarak jauh. Kocak, ini bukan tipuan, tapi aku pun ikut-ikutan mampu mendengar apa yang sedang terjadi di kelas sebelah.

“Oh ternyata sedang mencocokkan LKS Bahasa Indonesia yang baru dikerjakan”

Tidak begitu menarik. Sejenak aku termenung. Astaga! Aku baru tersadar. Bukankah setelah ini kelas kami juga mata pelajaran itu. Pasti bakalan sama, kami harus mengerjakan LKS dengan waktu setengah jam, dan lima belas menit sisanya untuk dikoreksi. Segera saja kuambil LKS Bahasa Indonesiaku.

Yess, aku sukses mencuri dengar kunci jawaban dari kelas sebelah. Namun sayangnya, aku sudah sedikit terlambat. Yang kudengarkan tidak dari awal soal nomor satu. Tapi lumayanlah, bagi seorang aku yang malas mengerjakan LKS dalam waktu sesingkat itu.

Waktu terus bergulir. Dan saatnya pergantian jadwal pelajaran. Tukeran dengan kelas sebelah. Dan benar saja, pagi itu Bu Yuni tidak langsung bercerita tentang episode Long Vacation semalam. Tapi justru langsung menyuruh kami mengerjakan LKS. Buncah rasa kagetpun pecah, kelas kami kisruh. Hingga akhirnya satu sentingan jari menghentikan kegaduhan “Arep tek Smack Down apa kowe kabeh?”

Dengan santai ku lengakapi jawaban LKS-ku, dan kembali lagi meneruskan catatan Biologi tadi. Mumpung semua tulisan belum dihapus.

“Heh... kowe lagi ngapa? Kon garap LKS koq malah esih nyalin Biologi?”

Celetuk Sugiarto yang keheranan melihat aktivitasku.

“Sante wae Mblung, aku wis rampung kiyeh! Arep nyonto apa?”

“Kenthir, kowe olih skang ndi koh jawabane?”

“Alaah wis meneng bae kowe, nek nyonto olih, ora ya karepmu!”

Dengan rasa ketidakpercayaan, temanku itu akhirnya meneruskan kerjanya. Ia mengambil LKS-ku dan membawanya ke bangku belakang kami, Okta dan Ithuz. Bahkan satu kelaspun. Semua tidak ada yang percaya dengan jawaban di LKS-ku itu. Terabai sudah, sungguh sia-sia.

Hingga tiba saatnya untuk dikoreksi dan mencocokkan jawaban. Kelas masih ribut, belum selesai mengerjakan. Terpaksa sajalah. LKSpun di-rolling, biar tidak ada yang mengkoreksi pekerjaannya sendiri.

Alhasil, setelah semua dinilai. Bu Yuni pun mulai memanggil satu persatu nama kami. Beberapa siswa nomor urut sebelumku rata-rata mendapat nilai tiga atau empat. Dan saat namaku disebut, “delapan” begitu teriak temanku yang mengkoreksi hasil kerjaanku.

“Kenthir!” Sugi sambil menepuk bahuku.

“Apa ku bilang?” kekehku.

Berurutan nama-nama temanku disebut dan masih saja dengan nilai tiga danempat. Tragis. Temanku Sugi pun masih sedikit beruntung. Karena ia nyontek sedikit dari LKS-ku. Ia dapat nilai enam. Syukurlah masih selamat.

Suasana kelaspun semakin tambah kacau balau. Heboh dengan nilai-nilai yang mereka dapatkan. Aku hanya cengar-cengir menertawakan mereka yang tidak mau mencontek jawaban di LKS-ku. Hahaha...

“Koq bisa gitu yach?”

Sabtu, Desember 04, 2010

School Story #3 "Mimbar Haruslah Tinggi"

School Story Chapter 3 : Mimbar Haruslah Tinggi


Entahlah apa yang terpikirkan bila disuguhkan dengan satu mata pelajaran ini. Sedari masih duduk di bangku sekolah dasar hingga saat ini, tentulah kenyang perut ini. Namun sayang, ilmu tetaplah ilmu. Sekali teguk tak cukup untuk menyegarkan dahaga. Apalagi, ini adalah ilmu yang akan menolong kita dunia akhirat. Reguk sebanyak kita mampu.

Pendidikan Agama Islam (PAI). Satu yang dianggap menjenuhkan, tak setenar Matematika, maupun Bahasa Inggris. Untuk mendapatkannya sangat mudah, tak perlu membayar mahal seperti hendak les privat Matematika atau Bahasa Inggris. Bahkan bisa didapat secara cuma-Cuma. Itupun bagi yang mau, bagi yang enggan pun tetap saja ‘gratis’.

Suatu ketika, guru PAI kelas kami, Bu Umi Suprapti, memberikan tugas yang lumayan agak susah. Kami diharuskan membuat draf khutbah jum’at. Dan selanjutnya harus dipresentasikan minggu depan. Naas, kami benar-benar tak terbiasa untuk menyusun yang begituan. Terlebih sebagian besar anak cowo, rata-rata mereka jarang sekali menyimak khutbah jum’at. Lebih senang untuk mengobrol atau malah pulas tertidur.

Suasana kelas bertambah gempar, saat diumumkan bahwa itu adalah tugas kelompok. Satu kelompok terdiri dari empat orang. Agar lebih mudah digunakan sistem bangku depan belakang. Kebetulan saat itu aku sedang bertukar tempat. Aku duduk di bangku urutan kedua bersama Mbah Rinaldi Danan Jaya (hhe.. sekarang masih ubanan gak ya?). Sedangkan bangku depanku tinggal seorang, si Okta, teman sebangkunya, Ithuz, sudah ‘ngeloyor’ sebelum Bu Umi masuk.

**hmm… tapi kayaknya kalo sekarang Ithuz ga bakal ngeloyor keluar kelas lagi dech kalo lagi PAI, selamat datang ya…**

Kelas makin ramai saja, beberapa diantara kami sibuk membagi-bagi jatah kerjaan. Siapa yang akan membuat tulisan dan siapa yang presentasi di depan kelas. Kelompokku hanya bersepakat “okey.. yang penting kita buat saja dari bahan yang ada” begitu saja koq repot. Dan nanti yang menulis biar Okta. Tulisan cewe kan biasanya rajin, rapi dan jelas terbaca. So, pasti dia kan juru tulis di kelasku. Tapi tunggu, mana bahannya??

*****

Seminggu sudah berlalu, hingga tiba saatnya untuk beraksi. Entahlah, apa semua sudah siap sedia. Masih ada saja yang tak membuat. Hehe.. penyakit buruk pelajar, malas. Dengan tidak adanya koordinasi yang baik, maka kepenulisan draf pun dikerjakan si Okta. Aku pun sebenarnya juga membuat tulisan cakar ayam. Kubaca draf buatan Okta, tulisannya bagus... dan.. hmm… isinya sama dengan yang aku buat. Yo wez.. tinggal dikombinasikan saja nanti saat maju presentasi praktek ber-khutbah.

Giliran pertama adalah presentasi dari kelompok si ‘siswa kode’ dan dia pun yang maju membacakan. Pada pertemuan minggu yang lalu sebelum pengadaan tugas kelompok tersebut. Sudah dijelaskan berbagai hal mengenai khutbah jum’at. Dari rukun hingga tata cara pelaksanaanya. Mukhlisin pun telah beraksi layaknya Khotib yang biasa kami lihat tiap jum’at. Dan sama saja, masih diabaikan.

Belum lama berselang, Bu Umi menyuruh untuk mengambilkan kursi bagi Mukhlisin. Tak diduga dan siapa sangka. Dia pun langsung naik dan berdiri di atas kursi. Hendak melanjutkan khutbahnya yang tertunda tadi.

“Eitz… koq naik sich mas?”

“Lho Bu… mimbar itu kan tempat yang tinggi.”

“Hahahahahahaaaa…..”

Sontak gelak tawa terpecah dari kami memenuhi seantero sudut ruangan.

Rupanya kawanku itu lupa satu hal, bahwa dalam berkhutbah ada jeda antara khutbah yang pertama dengan khutbah yang kedua. Pada saat itu khotib boleh duduk beristirahat