Senin, Maret 12, 2012

CERUTU #4 Puskesmas Konyol


Benar-benar  tiada terduga, Puskesmas yang dahulu selalu sepi dengan pengunjung pagi ini begitu ramai. Sepi bukan karena sedikitnya orang yang sakit, melainkan karena ketidakpercayaan masyarakat akan puskesmas tersebut. Dari segi pelayanan yang terkadang lama, tidak profesional, bahkan seringnya (calon) pasien yang terkena omel para pegawai instansi tersebut. Terlebih ada semacam sugesti dari masyarakat bahwa jika berobat harus ke dokter ini, ke dokter itu. Hasilnya, Puskesmas tidak laku.
***
Awal mendaftar di loket, aku sudah dikesampingkan oleh pegawai pendaftaran. Mereka sedang bersibuk dengan masalah administrasi pasien-pasien yang sudah mendaftar. Hingga loketpun ditutup sejenak. Menumpuk pekerjaan, mungkin itu sebabnya. Ketika ada satu pasien mendaftar, mereka masih bersantai. “Ah, baru satu ini. Gampang koq, bisa diurus cepet.”
Setelah loket dibuka ku segerakan mengulurkan KTP untuk mendaftar. Dan mereka masih sibuk dengan administrasi yang tadi keteteran. Tanganku masih terjulur, dan KTP langsung diambil tanpa ada tanya sepatahpun. Beberapa saat, si pegawai administrasi baru menanyakan keperluanku. Ku jawab saja, surat dokter.
Dari pengalamanku yang beberapa kali selalu menjadi pasien dokter gigi, sangat kilat, karena saking sepinya. Apalagi kalo cuma minta surat dokter, biasanya tak pakai periksa, dokter langsung tanda tangan. Namun hari ini, hanya untuk membuat selembar surat keterangan sehat dari dokter saja harus menghabiskan hampir dua jam. Mulai dari mengantre sekitar satu setengah jam, karena padatnya pasien yang hendak berobat hari ini.
Aku harus terus berdiri di ruang tunggu, bangku-bangku sudah penuh oleh kerumun pendaftar. Tak apa, masih muda, masih kuat. Ku perhatikan, ternyata masih ada beberapa pegawai yang lalu-lalang berjalan dalam keadaan tidak bertugas. Bahkan ada yang baru saja membeli sayur dan lauk untuk keperluan rumah tangganya. “Wow, santai sangat?? Ringan sekali ya kerjanya.”
Yang lebih parah, hanya ada seorang mahasiswa Akademi Kebidanan yang sedang PKL di puskesmas tersebut. Dia harus berlarian bolak-balik dari ruang pendaftaran ke ruang periksa, dan sebaliknya, untuk mengurus pendaftar pasien. kasian, nasib anak PKL.
***
Tiba giliran namaku di panggil dari ruang pendaftaran. Aku kira sudah dibuatkan berdasar KTP, tapi sayang ternyata masih harus ditanyakan identitas dan beberapa hal-hal pribadi. Berat badan, tinggi badan, golongan darah dan beberapa lainnya. “Memangnya identitas yang ada di KTP tidak bisa dibaca??”
“Okey, data selesai! Sekarang tinggal ke ruang periksa untuk cek kesehatan.”
Di ruang periksa ini hanya ku dapati, si mahasiswa PKL tadi dan seorang mantri. Ku baca sepintas nametag-nya  tertulis ‘Desti H. Azizah’ dan si mantri bernama ‘Muslih’. “Kemana dokternya tadi?”
Si gadis akbid itu mempersilakan aku duduk untuk periksa tensi. Kuperhatikan caranya seksama, rupanya belum mahir. Dia masih sedikit kesusahan memasang alat pengukur. Bahkan dalam pengukuran dia pun mengulanginya beberapa kali, seakan masih ragu dengan hasil hitungannya. Dia kaget bukan kepalang dengan hasil hitungannya. 150/100 mmHg,
“Mas nya darah tinggi?”
Aku hanya mengernyit dahi. “Aku ini keturunan darah rendah! Mungkin karena banyak begadang, dulu saja ketika mau donor pernah terukur 170/110 mmHg. Tapi istirahat sebentar langsung normal kembali.”
“Hah??” gadis akbid itu terbengong.
Saking bingungnya dengan hasil hitungannya. Dia memeberikan lembar surat dokter itu ke meja dimana ada seorang mantri bernama Muslih tadi.
“Waduh Mas? Tinggi amat?”
“Salah hitung kali tuch! Tadi pas ku ikut hitung juga normal, menurut perhitunganku sich..”
“Ya udah, temui dokter Iip aja Mas, saya ga berani, takut mbok salah..”
“Emang dokternya lagi dimana?”
“Waahhh??? Cari aja sendiri dech!”
“???????”
***
“Oh, tadi di ruang sana. Itu gerbang masuk saja, terus lurus, tanya dech disitu mana dokter Iip.”
Tukas seorang pegawai pendaftaran yang masih menyibukkan diri dalam urusan pribadinya, setelah ku tanya tentang posisi sang dokter.
Kembali kulangkahkan kaki, masuk lorong pintu gerbang tadi. “Di ruang dokter atau dimana? Tapi disini nggak ada ruang dokter.”
“Mas, sini!” terdengar seorang mbak perawat berseragam putih-putih memanggil.
“Mau kemana?” tambahnya.
“Mau ke dokter Iip.”
“Di sini!”
“Ouh…”
“Dok, tanda tangan..”
“Sebentar.. lowh? Koq tinggi mas?”
“Salah hitung kali tuch Dok, anak PKL sich…”
“Wah.. wah.. masa setiap cowok yang periksa tensi ke mbak akbid, jadi pada naik tensinya..” si mbak perwat menyeletuk. “Haioooo….oooo”
“Wekz??? Jelas-jelas dia yang salah ukur!!”
“Belum berkeluarga ya mas?” si dokter sok ikut-ikut nyambung.
“Ou, pantes masih Bujang siiich…” mbak perawat makin mengompori.
“Lha? Apa hubungannya mbak?”
“Nyetrum-nyetrum gitu dech… jadinya tensi naik. Hihi…”
“Hoakz!! Mataku nggak sekeranjang itu kali mbak..”
“Hah??” dahinya mengkerut mungkin bingung mengartikan kalimatku barusan. “Ya udah, coba saya yang periksa tensinya, pasti normal, udah emak-emak gini gak bakal nyetrum.. hihi..”
Dipersiapkannya alat ukur tensi. Sang dokter pun turut memperhatikan. Dan kali ini hitungan menunjukkan 150/120 mmHg.
“Tuch kaann… kalo sama emak-emak ya nggak nyetrum, jadi normal kan..”
“Ah, dasar emak-emak girang!” batinku.
“Nah kalo kayak gini kan bisa saya tanda tangani!” si dokter menarik carik kertas yang baru saja dibetulkan angka ukuran tensinya.
“Nih mas. Sudah saya tanda tangani. Juga terkait perubahannya tadi.”
“Makasih (ko)Dok.”
“Yup, sama-sama.”
Aku pun segera meninggalkan puskesmas aneh beserta penunggu-penunggu konyolnya.Geez! Aku kena dikerjai orang sekantor! [oz]