Kamis, Oktober 08, 2020

AMBYAR! LAMARANKU DITOLAK

Diantara sore  yang jingganya masih ranum. Usai memarkirkan sepeda motorku. Kuberanikan diriku untuk melangkah masuk menyusuri halaman dari sebuah rumah berwarna jingga jeruk. Teras yang asri berhias beberapa pot aglaonema di sekitar kursi dan meja yang ada di sana. Dua sangkar burung yang menggantung di plafon langit-langit teras, sedikit bergoyang bersama hembus angin yang entah tiba-tiba berkelebat. Nyaris tak ada keciap maupun kicau dari penghuni-penghuni sangkar.

Pintu rumahnya sudah terbuka lebar, namun tak seorangpun terlihat. Ku ketuk kaca jendela di sebelah pintu masuk. Tak ada jawaban. Ku ketuk untuk kali kedua. Pun sama, hening.

Suasana ruang tamu masih sama seperti hari-hari biasa. Dimana aku memang sering menjadi tamu biasa. Sangat biasa hingga tak lagi layaknya tamu. Orang-orang disini, sudah menganggapku keluarga. Dan rasanya pun aku sangat ingin menjadi bagian keluarga ini. Karenanyalah, hari ini, dengan iringan sayup adzan ashar sore ini aku datang. Mengutarakan maksud baik.

O.. aku melupakan sesuatu. Aku belum melepas sepatuku, dari tadi. Segera aku berjongkok melepasnya.

“Eh, Danang.. datang kok gak salam..?”

“Iya, maaf Tante.. ini mau melepas sepatu dulu.”

“Assalamu’alaikum.. Tante..”

“Wa’alaikumsalam. Tumben kamu rapi kesininya, Nang..”

Aku sedikit terkekeh, tersipu. 

“Masuk aja, Nang.. itu di meja ada cemilan favoritmu.”

“I-iya Tante, Om kemana.. Tante?”

“Lha? Barusan berangkat ke Masjid. Gak papasan?”

“Enggak. Kalo Vira dimana?”

“Oh, tadi sih masih di kamar, mungkin lagi sholat.”

“Ya sudah, Tante. Saya tunggu di sini ajah.”

“Tante tinggal dulu sebentar, ya? Tante juga mau sholat. O iya, kamu mau minum apa?”

“Nggak usaha repot, Tante.”

“Ah, nggak kok. Tante bikinin teh aja ya?”

***


“Assalamu’alaikum.. Eh, ada Danang..”

“Wa’alaikumsalam, iya Om.” Segera kujabat tangannya, sembari ku takzimkan di keningku.

“Sudah lama datang atau barusan?"

“Belum lama sih Om.. tadi pas Om berangkat ke Masjid.”

“Ooo.. tunggu sebentar ya. Om mau salin baju dulu.”

“Iya, Om. Gak papa.”

Aku kembali duduk di sofa ruang tamu, ditemani beberapa cemilan yang tersedia di meja.

Entah, dag-dig-dug jantungku semakin kencang berdebar. Seluruh badan, terutama tangan dan kaki terasa gemetar. Keringat sedikit demi sedikit mulai berembun dari permukaan kulit tangan dan lenganku. Ah, beginikah rasanya? Dimana aku hendak bermaksud serius mengambil keputusan.

Kuseka keringat yang tiba-tiba menetes dari kening. Dengan tisu yang kudapatkan di meja. Kenapa malah jadi grogi seperti ini, kesalku.

“Maaf nunggu lama ya, Nang.”

Seketika saja, suara itu membuyarkan kepanikan yang menghinggapiku. Pecah, makin bertambah kacau dalam benak pikiranku.

“I-iya gak pa-pa Om.. San-tuy ko-k O-om.. Hehe..”

Ah, semakin tak terkendali bicaraku. Woi.. jaga sopan santun. Ini momen serius. Harus bisa diniliai bagus. Agar lulus, jadi calon menantu, nikah terus. Ups, terus nikah. Gerutuku dalam hati.

“Gimana, Nang.. Ada apa nih kok tumben rapi.. Nah terus itu keringetan kenapa, gobyos gitu??”

“Emm.. anu Om.. gak pa-pa Om..”

Aku makin kikuk. Tak tahu lagi mau ngomong apa.

***


“Naah... ini Nang tehnya, udah tante bikinin. Ini kalo bapak kopi aja.”

“Makasih ya Bu.. sini ikut duduk Bu.”

“I-ya makasih Tante, wedang tehnya.” Jawabku.

“Jadi, gimana Nang?”

“Gi-ma-na apa ya.. O-om?”

“Ya kamu kesini, ini, tumben dandan rapi.. Meski sekarang wes gobyos keringet. Haha..”

“Ah.. O-om me-le-dek.”

“Kemarin Vira, udah cerita, kalo hari ini, sore ini kamu mau kesini, mau nembung.. Hayuk.. ngomongo!”

“I-iya Om. Jadi gitu Om. I-ya gitu Om.”

“Gitu apa?”

“Ya, ka-lo Vi-ra udah cerita. Ber-ar-ti su-dah ta-hu kan Om.”

Dua orang di hadapanku saling berpandangan. Dahi mereka sama-sama berkernyit.

Opo tho.. ora jelas..”

celetuk ibunya Vira, sembari sedikit tersenyum.

Kutarik dalam-dalam nafasku. Ku hembuskan perlahan. Berulang kulakukan. Tanpa sadar dua orang didepanku terus memperhatikan ulahku, sambil senyum-senyum.

“Nah, sudah siap buat ngomong kan?”

“I-ya Om. Jadi maksud kedatangan saya kesini sebenarnya mau melamar Vira anak Om dan Tante untuk jadi pendamping hidup saya. Karena kami sudah cukup kenal lama. Kami merasa cocok dan saling suka. Karenanya agar terhindar dari jerat dosa, Saya ingin menghalalkan Vira jadi istri saya. Saya siap jadi Imamnya.”

Seperti kerasukan sesuatu. Aku menyatakan maksud dengan berkata tanpa jeda. Seperti laju kereta saja.

Keduanya, ayah dan ibu Vira hampir-hampir tak bisa menahan tawa mereka. Namun tiba-tiba suasana menjadi hening, senyap tanpa suara.

***


“Kalo Tante sih.. terserah Vira saja. Yang mau menjalani kan dia.”

Ibunya Vira memecah kebekuan. Sementara aku, sudah sedikit berkurang gemetaran yang menggerayangi badang.

“Vira.. sini.. jangan cuma ngintip terus. Gimana.. kamu mau enggak nih, sama Danang?” lanjutnya.

Kami semua mempersaksikan, bahwa Vira mengangguk. Memberi sebuah jawaban penuh arti. Aku bernafas lega. Rasanya, senyumku mulai berkembang. Bunga-bunga serasa bermekaran, menebar aroma wangi. Aku bahagia.

“CUKUP! OM.. TIDAK SETUJU KAMU NIKAHIN VIRA.”

Pernyataan ayah Vira, yang sungguh jauh dari harapan. Seketika mendengarnya, jantungku seakan berhenti berdetak. Hingga semua terdiam. Kembali kaku, beku seperti es antartika.

“TA-PI kenapa Om??” aku masih tak percaya pernyataannya.

“Sudah kamu pulang saja! Kamu tidak layak jadi suami Vira!”

“TI-DAK layak kenapa OM?”

“Sudah pulang sana!”

Vira terisak, berlari masuk ke dalam. Sementara aku hancur. Benar-benar hancur berkeping-keping. Ambyar.[fz]

 

 

 

Senin, Maret 12, 2012

CERUTU #4 Puskesmas Konyol


Benar-benar  tiada terduga, Puskesmas yang dahulu selalu sepi dengan pengunjung pagi ini begitu ramai. Sepi bukan karena sedikitnya orang yang sakit, melainkan karena ketidakpercayaan masyarakat akan puskesmas tersebut. Dari segi pelayanan yang terkadang lama, tidak profesional, bahkan seringnya (calon) pasien yang terkena omel para pegawai instansi tersebut. Terlebih ada semacam sugesti dari masyarakat bahwa jika berobat harus ke dokter ini, ke dokter itu. Hasilnya, Puskesmas tidak laku.
***
Awal mendaftar di loket, aku sudah dikesampingkan oleh pegawai pendaftaran. Mereka sedang bersibuk dengan masalah administrasi pasien-pasien yang sudah mendaftar. Hingga loketpun ditutup sejenak. Menumpuk pekerjaan, mungkin itu sebabnya. Ketika ada satu pasien mendaftar, mereka masih bersantai. “Ah, baru satu ini. Gampang koq, bisa diurus cepet.”
Setelah loket dibuka ku segerakan mengulurkan KTP untuk mendaftar. Dan mereka masih sibuk dengan administrasi yang tadi keteteran. Tanganku masih terjulur, dan KTP langsung diambil tanpa ada tanya sepatahpun. Beberapa saat, si pegawai administrasi baru menanyakan keperluanku. Ku jawab saja, surat dokter.
Dari pengalamanku yang beberapa kali selalu menjadi pasien dokter gigi, sangat kilat, karena saking sepinya. Apalagi kalo cuma minta surat dokter, biasanya tak pakai periksa, dokter langsung tanda tangan. Namun hari ini, hanya untuk membuat selembar surat keterangan sehat dari dokter saja harus menghabiskan hampir dua jam. Mulai dari mengantre sekitar satu setengah jam, karena padatnya pasien yang hendak berobat hari ini.
Aku harus terus berdiri di ruang tunggu, bangku-bangku sudah penuh oleh kerumun pendaftar. Tak apa, masih muda, masih kuat. Ku perhatikan, ternyata masih ada beberapa pegawai yang lalu-lalang berjalan dalam keadaan tidak bertugas. Bahkan ada yang baru saja membeli sayur dan lauk untuk keperluan rumah tangganya. “Wow, santai sangat?? Ringan sekali ya kerjanya.”
Yang lebih parah, hanya ada seorang mahasiswa Akademi Kebidanan yang sedang PKL di puskesmas tersebut. Dia harus berlarian bolak-balik dari ruang pendaftaran ke ruang periksa, dan sebaliknya, untuk mengurus pendaftar pasien. kasian, nasib anak PKL.
***
Tiba giliran namaku di panggil dari ruang pendaftaran. Aku kira sudah dibuatkan berdasar KTP, tapi sayang ternyata masih harus ditanyakan identitas dan beberapa hal-hal pribadi. Berat badan, tinggi badan, golongan darah dan beberapa lainnya. “Memangnya identitas yang ada di KTP tidak bisa dibaca??”
“Okey, data selesai! Sekarang tinggal ke ruang periksa untuk cek kesehatan.”
Di ruang periksa ini hanya ku dapati, si mahasiswa PKL tadi dan seorang mantri. Ku baca sepintas nametag-nya  tertulis ‘Desti H. Azizah’ dan si mantri bernama ‘Muslih’. “Kemana dokternya tadi?”
Si gadis akbid itu mempersilakan aku duduk untuk periksa tensi. Kuperhatikan caranya seksama, rupanya belum mahir. Dia masih sedikit kesusahan memasang alat pengukur. Bahkan dalam pengukuran dia pun mengulanginya beberapa kali, seakan masih ragu dengan hasil hitungannya. Dia kaget bukan kepalang dengan hasil hitungannya. 150/100 mmHg,
“Mas nya darah tinggi?”
Aku hanya mengernyit dahi. “Aku ini keturunan darah rendah! Mungkin karena banyak begadang, dulu saja ketika mau donor pernah terukur 170/110 mmHg. Tapi istirahat sebentar langsung normal kembali.”
“Hah??” gadis akbid itu terbengong.
Saking bingungnya dengan hasil hitungannya. Dia memeberikan lembar surat dokter itu ke meja dimana ada seorang mantri bernama Muslih tadi.
“Waduh Mas? Tinggi amat?”
“Salah hitung kali tuch! Tadi pas ku ikut hitung juga normal, menurut perhitunganku sich..”
“Ya udah, temui dokter Iip aja Mas, saya ga berani, takut mbok salah..”
“Emang dokternya lagi dimana?”
“Waahhh??? Cari aja sendiri dech!”
“???????”
***
“Oh, tadi di ruang sana. Itu gerbang masuk saja, terus lurus, tanya dech disitu mana dokter Iip.”
Tukas seorang pegawai pendaftaran yang masih menyibukkan diri dalam urusan pribadinya, setelah ku tanya tentang posisi sang dokter.
Kembali kulangkahkan kaki, masuk lorong pintu gerbang tadi. “Di ruang dokter atau dimana? Tapi disini nggak ada ruang dokter.”
“Mas, sini!” terdengar seorang mbak perawat berseragam putih-putih memanggil.
“Mau kemana?” tambahnya.
“Mau ke dokter Iip.”
“Di sini!”
“Ouh…”
“Dok, tanda tangan..”
“Sebentar.. lowh? Koq tinggi mas?”
“Salah hitung kali tuch Dok, anak PKL sich…”
“Wah.. wah.. masa setiap cowok yang periksa tensi ke mbak akbid, jadi pada naik tensinya..” si mbak perwat menyeletuk. “Haioooo….oooo”
“Wekz??? Jelas-jelas dia yang salah ukur!!”
“Belum berkeluarga ya mas?” si dokter sok ikut-ikut nyambung.
“Ou, pantes masih Bujang siiich…” mbak perawat makin mengompori.
“Lha? Apa hubungannya mbak?”
“Nyetrum-nyetrum gitu dech… jadinya tensi naik. Hihi…”
“Hoakz!! Mataku nggak sekeranjang itu kali mbak..”
“Hah??” dahinya mengkerut mungkin bingung mengartikan kalimatku barusan. “Ya udah, coba saya yang periksa tensinya, pasti normal, udah emak-emak gini gak bakal nyetrum.. hihi..”
Dipersiapkannya alat ukur tensi. Sang dokter pun turut memperhatikan. Dan kali ini hitungan menunjukkan 150/120 mmHg.
“Tuch kaann… kalo sama emak-emak ya nggak nyetrum, jadi normal kan..”
“Ah, dasar emak-emak girang!” batinku.
“Nah kalo kayak gini kan bisa saya tanda tangani!” si dokter menarik carik kertas yang baru saja dibetulkan angka ukuran tensinya.
“Nih mas. Sudah saya tanda tangani. Juga terkait perubahannya tadi.”
“Makasih (ko)Dok.”
“Yup, sama-sama.”
Aku pun segera meninggalkan puskesmas aneh beserta penunggu-penunggu konyolnya.Geez! Aku kena dikerjai orang sekantor! [oz]