Rabu, Desember 22, 2010

Wanita Bercaping Hijau

Rupa-rupanya aku baru saja terbangun dari pingsanku. Aku terheran, dimana aku? kamar siapa? rumah siapa ini? Siapa pula yang menolongku dan membawaku kesini? Berapa lama aku pingsan? Segudang tanya menghias penasaranku. Yang aku ingat terakhir kali aku terjatuh dari pematang sawah. Saat beberapa pemuda desa berkeroyok mengejarku. Beringas, seperti pemburu dari suku-suku pedalaman papua yang tengah mendapati babi buruan. Seketika itu semua gelap. Mungkin aku sudah berkubang penuh lumpur.

Arrghh... Badanku kaku, berat untuk digerakkan. Sekujur persendian tubuhku nyeri. Bahkan kepalaku masih berasa pusing dan sakit, seperti terbentur sesuatu. Mataku masih sedikit berkunang. Menggerakkan tangan saja aku harus perlahan, ngilu. Kuraba bagian kening di atas pelipis kananku, yang kurasa hanya perih. Ah.. ada balutan perban mengitari bagian atas kepalaku itu. Sakit.

Kupaksakan bangkit dari pembaringanku. Dipan yang kutempati berderit beberapa kali seiring jerit kecilku menahan sakit. Sementara aku hanya bisa terduduk menyamping pada dipan bambu yang mulai berhenti berdendang. Kualihkan pandanganku tertuju pada sebuah meja kecil tepat disamping dipan tempat aku duduk sekarang. Ada secangkir teh hangat dan segelas air putih tersedia. Mungkin memang disiapkan untukku jikalau aku telah siuman.

Sedikit demi sedikit tenagaku telah pulih. Kucoba menegakkan badan. Dan aku berdiri sedikit terhuyung. Aku rasa aku sudah kuat, mantap kuhendak melangkah. Astaga.. aku oleng. Sigap tanganku bergerayang mencari sandaran. Praang.. ku senggol cangkir teh itu dan jatuh. Penglihatanku kembali pudar, penuh kerlap-kerlip warna kuning beterbangan. Byaar.. pett.. sekali lagi semua gelap.

***

Riuh kicau burung perlahan membangunkanku pagi ini. Kulihat lagi meja disampingku. Masih ada secangkir teh hangat dan segelas air putih. Untuk kali ini aku sudah sangat kuat untuk bangkit. Aku pun duduk lagi di dipan bambu. Kemudian menyeruput teh hangat yang tersaji, ah.. nikmat. Aku jadi teringat kenanganku dengan istriku. Tiap pagi ia selalu menyajikan teh hangat senikmat ini. Aku memang salah telah meninggalkan dia.

Benar-benar hangat, serasa membakar energiku kembali. Mantap aku berjalan. Kusingkap tirai yang menjadi penutup pintu kamar. Hmmm... rumah yang begitu sederhana. Hanya ada teras kecil dibagian depan. Kemudian pada bagian dalam hanya ada ruang tamu dan dapur yang terpisahkan oleh semacam lemari buffet kayu yang telah nampak usang. Sedangkan kamar tempat aku berdiri tepat berhadapan dengan ruang tamu. dan disamping kananku masih kujumpai sepetak kamar.

Sepi penghuni. Tak ada satupun yang nampak. Sebongkah suarapun tak kudengar sama sekali. Aku menuju pintu depan. baru saja kubuka, aroma segar suasana pedesaan telah menggairahkan semangatku. Segera saja kulemaskan otot-otot badan yang telah lama hanya diam terbaring. Gemeretak tulang dan persendian menambah nyaman pereganganku ini.

Samar kulihat dari arah sumur yang tak jauh dari samping rumah aku berada kini. Sesosok wanita muncul menjauh ke arah jalanan. Mungkin ia tak menyadari ada sepasang mata sedang mengamatinya. Semakin menjauh perempuan bercaping itu. Hilang dibalik rimbunnya belukar. Mungkin hendak ke ladang.

Aku kembali masuk ke dalam rumah tempatku berinap beberapa hari ini. Entahlah aku tidak tahu pasti sudah berapa lama aku disini. Nanti saja kutanyakan pada si empunya rumah ini.

Aku duduk di kursi panjang di ruang tamu. Penat. Kurebahkan saja lagi badan ini. Aku pun terlelap.

***

Lama sudah aku tertidur. Jemari tangan yang menepukku dua kali berhasil membangunkanku.

"Mas.. Koq malah istirahat disini?" suara lembut itu sepertinya pernah kudengar.

"Yaa... aku hanya ingin meluruskan badan koq.." jawabku sekenanya, tanpa tahu siapa wanita yang membangunkanku.

Aku kaget bukan kepalang. Mataku terbelalak, mendapati istriku sendiri yang sudah ada disampingku. Ku kucek-kucek sekali lagi mataku ini. Aku masih tidak percaya. Itu memang Marni, istriku sendiri.

Aku baru sadar dan teringat semua tentang mengapa aku sampai di kampung perbukitan ini. Aku kesini untuk mencari istriku sendiri. Marni yang telah lama ku sia-siakan. Bahkan seingatkan tak pernah kubuat bahagia hatinya. Yang ada hanya luka dan derita yang kuberikan. Semua bermula setelah aku berkenalan dengan yang namanya minuman keras. Aku ingin meminta maaf padanya.

Penduduk kampung yang kemarin mengeroyokku, mungkin mereka suruhan keluarga besarnya Marni. Mereka mungkin masih dendam kepadaku atas perlakuanku kepada Marni. Segera saja ku rengkuh kaki istriku itu, dan ku mohonkan ampun atas semua salahku padanya.

Aku masih menyesali perbuatanku padanya. Aku terus mengiba meminta kemaafannya. Hingga saat kudongakkan kepalaku, linangan air mata Marni menetes. Jatuh tepat di pipi kananku. Marni tersenyum

"Sudahlah Mas Tarjo, berdirilah..."

"Sungguh aku sudah memaafkanmu semenjak kau meninggalkan aku setahun yang lalu.."

Jumat, Desember 10, 2010

School Story #4 "Kamen rider Kuuga"

School Story Chapter 4 : Kamen Rider Kuuga


Masihlah sama mentari di pagi hari itu. Hari kamis tepatnya. Sebagaimana kurikulum mata pelajaran SMA maka untuk Bahasa Indonesia dan Biologi adalah lima jam pengajaran. Dan itu berarti pagi itulah tempat bertemunya dua pelajaran tersebut. Kelasku, 1F pada jam pertama Biologi. Sedangkan kelas sebelah, 1G, Bahasa Indonesia.

Malam kamis punya cerita tersendiri. Dimana Bu Yuni, guru Bahasa Indonesia, selalu menunggu drama Jepang favoritnya tayang pada jam sembilan malam. Dan di rumah, aku pun tak jauh beda, wajib menonton Kamen Rider Kuuga pada jam tujuhnya. Tentu pada stasiun televisi yang berbeda.

Layaknya seperti yang sudah-sudah. Pagi itu pun, kami disuruh menulis materi pelajaran Biologi. Tentu saja Okta mengambil peran penulis papan tulis. Sedangkan Sang Guru, Ibu Suparmi, terkantuk-kantuk dan tidur. Sembari menutup mukanya dengan Buku LKS yang lumayan lebar. Selalu begitu.

Sudah hampir setengah jam lebih kami hanya menulis. Begitu tenang dan sepi. Jika kami ramai mungkin akan membangunkan guru kami itu. Bisa saja beliau langsung marah-marah, mungkin karena tidurnya terganggu kali yach, haha. Beliau kan memang terkenal galak. Banyak yang sudah merasakan omelan dan cercaan beliau. Tapi setahuku di kelasku belum ada. Aman-aman saja.

Bosan aku menyalin tulisan di papan ke buku tulisku. Sudah begitu hanya membuat tangan pegal-pegal saja.

Entahlah, mungkin karena cerita Kamen Rider Kuuga yang semalam. Episode saat sang jagoan mendapat satu kekuatan super lagi. Kostumnya berubah warna menjadi hijau, dan bisa mendengar suara jarak jauh. Kocak, ini bukan tipuan, tapi aku pun ikut-ikutan mampu mendengar apa yang sedang terjadi di kelas sebelah.

“Oh ternyata sedang mencocokkan LKS Bahasa Indonesia yang baru dikerjakan”

Tidak begitu menarik. Sejenak aku termenung. Astaga! Aku baru tersadar. Bukankah setelah ini kelas kami juga mata pelajaran itu. Pasti bakalan sama, kami harus mengerjakan LKS dengan waktu setengah jam, dan lima belas menit sisanya untuk dikoreksi. Segera saja kuambil LKS Bahasa Indonesiaku.

Yess, aku sukses mencuri dengar kunci jawaban dari kelas sebelah. Namun sayangnya, aku sudah sedikit terlambat. Yang kudengarkan tidak dari awal soal nomor satu. Tapi lumayanlah, bagi seorang aku yang malas mengerjakan LKS dalam waktu sesingkat itu.

Waktu terus bergulir. Dan saatnya pergantian jadwal pelajaran. Tukeran dengan kelas sebelah. Dan benar saja, pagi itu Bu Yuni tidak langsung bercerita tentang episode Long Vacation semalam. Tapi justru langsung menyuruh kami mengerjakan LKS. Buncah rasa kagetpun pecah, kelas kami kisruh. Hingga akhirnya satu sentingan jari menghentikan kegaduhan “Arep tek Smack Down apa kowe kabeh?”

Dengan santai ku lengakapi jawaban LKS-ku, dan kembali lagi meneruskan catatan Biologi tadi. Mumpung semua tulisan belum dihapus.

“Heh... kowe lagi ngapa? Kon garap LKS koq malah esih nyalin Biologi?”

Celetuk Sugiarto yang keheranan melihat aktivitasku.

“Sante wae Mblung, aku wis rampung kiyeh! Arep nyonto apa?”

“Kenthir, kowe olih skang ndi koh jawabane?”

“Alaah wis meneng bae kowe, nek nyonto olih, ora ya karepmu!”

Dengan rasa ketidakpercayaan, temanku itu akhirnya meneruskan kerjanya. Ia mengambil LKS-ku dan membawanya ke bangku belakang kami, Okta dan Ithuz. Bahkan satu kelaspun. Semua tidak ada yang percaya dengan jawaban di LKS-ku itu. Terabai sudah, sungguh sia-sia.

Hingga tiba saatnya untuk dikoreksi dan mencocokkan jawaban. Kelas masih ribut, belum selesai mengerjakan. Terpaksa sajalah. LKSpun di-rolling, biar tidak ada yang mengkoreksi pekerjaannya sendiri.

Alhasil, setelah semua dinilai. Bu Yuni pun mulai memanggil satu persatu nama kami. Beberapa siswa nomor urut sebelumku rata-rata mendapat nilai tiga atau empat. Dan saat namaku disebut, “delapan” begitu teriak temanku yang mengkoreksi hasil kerjaanku.

“Kenthir!” Sugi sambil menepuk bahuku.

“Apa ku bilang?” kekehku.

Berurutan nama-nama temanku disebut dan masih saja dengan nilai tiga danempat. Tragis. Temanku Sugi pun masih sedikit beruntung. Karena ia nyontek sedikit dari LKS-ku. Ia dapat nilai enam. Syukurlah masih selamat.

Suasana kelaspun semakin tambah kacau balau. Heboh dengan nilai-nilai yang mereka dapatkan. Aku hanya cengar-cengir menertawakan mereka yang tidak mau mencontek jawaban di LKS-ku. Hahaha...

“Koq bisa gitu yach?”

Sabtu, Desember 04, 2010

School Story #3 "Mimbar Haruslah Tinggi"

School Story Chapter 3 : Mimbar Haruslah Tinggi


Entahlah apa yang terpikirkan bila disuguhkan dengan satu mata pelajaran ini. Sedari masih duduk di bangku sekolah dasar hingga saat ini, tentulah kenyang perut ini. Namun sayang, ilmu tetaplah ilmu. Sekali teguk tak cukup untuk menyegarkan dahaga. Apalagi, ini adalah ilmu yang akan menolong kita dunia akhirat. Reguk sebanyak kita mampu.

Pendidikan Agama Islam (PAI). Satu yang dianggap menjenuhkan, tak setenar Matematika, maupun Bahasa Inggris. Untuk mendapatkannya sangat mudah, tak perlu membayar mahal seperti hendak les privat Matematika atau Bahasa Inggris. Bahkan bisa didapat secara cuma-Cuma. Itupun bagi yang mau, bagi yang enggan pun tetap saja ‘gratis’.

Suatu ketika, guru PAI kelas kami, Bu Umi Suprapti, memberikan tugas yang lumayan agak susah. Kami diharuskan membuat draf khutbah jum’at. Dan selanjutnya harus dipresentasikan minggu depan. Naas, kami benar-benar tak terbiasa untuk menyusun yang begituan. Terlebih sebagian besar anak cowo, rata-rata mereka jarang sekali menyimak khutbah jum’at. Lebih senang untuk mengobrol atau malah pulas tertidur.

Suasana kelas bertambah gempar, saat diumumkan bahwa itu adalah tugas kelompok. Satu kelompok terdiri dari empat orang. Agar lebih mudah digunakan sistem bangku depan belakang. Kebetulan saat itu aku sedang bertukar tempat. Aku duduk di bangku urutan kedua bersama Mbah Rinaldi Danan Jaya (hhe.. sekarang masih ubanan gak ya?). Sedangkan bangku depanku tinggal seorang, si Okta, teman sebangkunya, Ithuz, sudah ‘ngeloyor’ sebelum Bu Umi masuk.

**hmm… tapi kayaknya kalo sekarang Ithuz ga bakal ngeloyor keluar kelas lagi dech kalo lagi PAI, selamat datang ya…**

Kelas makin ramai saja, beberapa diantara kami sibuk membagi-bagi jatah kerjaan. Siapa yang akan membuat tulisan dan siapa yang presentasi di depan kelas. Kelompokku hanya bersepakat “okey.. yang penting kita buat saja dari bahan yang ada” begitu saja koq repot. Dan nanti yang menulis biar Okta. Tulisan cewe kan biasanya rajin, rapi dan jelas terbaca. So, pasti dia kan juru tulis di kelasku. Tapi tunggu, mana bahannya??

*****

Seminggu sudah berlalu, hingga tiba saatnya untuk beraksi. Entahlah, apa semua sudah siap sedia. Masih ada saja yang tak membuat. Hehe.. penyakit buruk pelajar, malas. Dengan tidak adanya koordinasi yang baik, maka kepenulisan draf pun dikerjakan si Okta. Aku pun sebenarnya juga membuat tulisan cakar ayam. Kubaca draf buatan Okta, tulisannya bagus... dan.. hmm… isinya sama dengan yang aku buat. Yo wez.. tinggal dikombinasikan saja nanti saat maju presentasi praktek ber-khutbah.

Giliran pertama adalah presentasi dari kelompok si ‘siswa kode’ dan dia pun yang maju membacakan. Pada pertemuan minggu yang lalu sebelum pengadaan tugas kelompok tersebut. Sudah dijelaskan berbagai hal mengenai khutbah jum’at. Dari rukun hingga tata cara pelaksanaanya. Mukhlisin pun telah beraksi layaknya Khotib yang biasa kami lihat tiap jum’at. Dan sama saja, masih diabaikan.

Belum lama berselang, Bu Umi menyuruh untuk mengambilkan kursi bagi Mukhlisin. Tak diduga dan siapa sangka. Dia pun langsung naik dan berdiri di atas kursi. Hendak melanjutkan khutbahnya yang tertunda tadi.

“Eitz… koq naik sich mas?”

“Lho Bu… mimbar itu kan tempat yang tinggi.”

“Hahahahahahaaaa…..”

Sontak gelak tawa terpecah dari kami memenuhi seantero sudut ruangan.

Rupanya kawanku itu lupa satu hal, bahwa dalam berkhutbah ada jeda antara khutbah yang pertama dengan khutbah yang kedua. Pada saat itu khotib boleh duduk beristirahat

Selasa, November 30, 2010

School Story #2 "Ulangan yang aneh"

School Story Chapter 2 : Ulangan Yang Aneh


Masih ingat kawan sebangku saya yang punya nama Sugiarto? Yup, unik tapi kalau aku boleh bilang 'gila'. Mungkin karena bergaul dengan dia juga aku ikut terpengaruh sedikit gila juga. Biarlah, yang penting hidupku tak segila pikiranku. Tapi santai saja kawan sampai hari ini aku tak pernah menjadi pasien RSJ. Haha.. ingat kawan, jangan anggap semua anak 1F gila semua ya!

Belajar bahasa dan sastra penuh tawa bersama Bu Yuni yang ceria. Penulis favoritnya adalah N.H Dini. Guru yang satu ini sangat klop dengan temanku itu. Mungkin masih satu genetik kali ya, pengidap gen gaul dan rada gila. Aku saja kadang heran ada ya guru macam ini. Ada dua pesannya, pertama jika kalian bertemu beliau diluar sekolah lebih baik jangan memanggil Ibu atau tante, mbak saja begitu pintanya. Hmm... satu lagi 'peterpan' syndrom, tak mau dianggap lebih tua. Kedua, saat sedang diajar beliau dilarang macam-macam, tak boleh melawan, tak boleh telat dan sebagainya. Jika ada yang melanggar, siap-siap saja "Smack Down!". Haioo... siapa yang sudah pernah dapat hukuman dari beliau??

Kebetulan juga pada masa kami duduk di kelas satu, baru-barulah muncul drama asia. Long Vacation, satu drama asal jepang yang diputar di Indosiar. Ceritanya cukup bagus dibanding melodrama asia yang lainnya. Saking ngefans-nya dengan drama dan juga tokoh-tokoh drama tersebut, Sena dan Minami. Setiap sebelum mulai mengajar, beliau selalu mereview cerita tiap episodenya di depan kelas. Astaga dot com. Hafal amat yak...

Rasanya, mungkin hanya aku yang menyimak beliau bercerita. Karena aku juga nonton drama favoritnya itu. Terkadang aku juga sedikit memberikan koreksi dari apa yang beliau ceritakan. Jikalau ada yang sedikit melenceng maka aku yang meluruskan. Wow?? Siapa sebenarnya yang memfavoritkan drama itu sich?

Suatu ketika di kelas kami diadakan ulangan lisan. Bukan materi-materi pelajaran sosial seperti sejarah atau yang lain. Ini bahasa Indonesia, bisa ditebak apa yang hendak diujikan? Bisa saja tapi agak rumit, karena dalam kesehariannya kami hanya belajar sedikit tentang bahasa dan sastra, membaca dan mengerjakan LKS. Something simple likes that!

Dimulailah ujian lisan bahasa Indonesia hari itu. Agar tak memakan banyak waktu, bergilirlah menghadap sang guru per dua anak alias kawan sebangku. Banyak diantara kawan kami yang sudah kebingungan. Bakal dapat pertanyaan tentang apa gerangan. Nyaris diantara semua yang sudah menghadap terlebih dulu, limbung. Ditanya tentang puisi, pantun dan tetek bengeknya. Atau bahkan tentang bermacam karangan dalam sastra Indonesia. Makin pusing dech... hehe..

Seiring bergulirnya waktu, tibalah giliran kami. Aku dan Sugi pun melangkah maju sembari menghimpun keberanian. Oops, hanya aku saja ternyata yang belum punya keberanian. Lain dengan temanku itu, dengan santainya dia maju. paling yang dipusingkannya cuma jika diberi pertanyaan tantang sastra, mau dijawab apa coba?

Kami pun duduk dengan sedikit ketegangan melanda pikiran. Namun diluar dugaan, kami benar-benar terhenyak dengan pertanyaan ujian lisan itu. Pada awal kami ditanya tentang nama dan nomor absen.

Oh iya, kondisi saat kami diinterogasi itu sudah sangat cair penuh canda tawa. hilang semua cemas, gundah, dan ketegangan menjalani ulangan lisan itu. Itu berkat ulah temanku yang memang benar-benar klop dengan Bu yuni untuk gila-gilaan. Dengan penuh gelak pertanyaan pun dilanjutkan.

"Kalian rumahnya mana?"

"Adipala" cepat jawab temanku itu. Aku pun tak kalah "Maos, Bu.."

"Wah, jauh juga yach.. Naik apa kalian kalau berangkat ke sekolah?"

"Naik bus bu.." jawab kami kompak

"Emang bus apaan?"

Sekonyong-konyong Sugi nyeletuk "Sinar jaya Bu..."

"Syet dah, Gie.. emang SinJay lewat Adipala ya? Ngawur kowe dasar kenthir.."

"Lah emang miki ditakoni apa sich?" tukas kawanku itu.

"Kowe numpak bis apa mangkate ngeneh..."

"Sudah.. sudah... ini ulangan bahasa indonesia, jadi gunakan bahasa sesuai EYD!"

"Iyaa Buuu..'

"Yo wes, kalian silakan kembali duduk, gantian sama yang laen!"

Kami berdua undur ke bangku kami. Dan masih dengan ketidakpercayaan dengan pertanyaan-pertanyaan tadi. Haha.. kami beruntung. Tak harus menjawab dengan bermacam hal tentang sastra dan bahasa Indonesia.

"Bener ora sich nek miki kuwe ulangan lisan??"

Minggu, November 28, 2010

School Story #1 "Siswa Kode"

School Story chapter 1: Siswa Kode

Pagi itu tak begitu terik. Jam masih menunjukkan jam tujuh kurang lima menit. Kelas sudah hampir penuh. Namun seperti biasa masih ramai. Maklum, belum ada satu gurupun yang menjenguk kelas kami yang kebetulan berada di pojok jauh. Jadwal pagi itu harusnya kimia. Dan untungnya tak ada tugas ataupun PR, kami pun santai.

Seiring bergulirnya waktu kelas kami masih riuh. Beberapa diantara kami sibuk mengobrol. Yang lain pun tak kalah, masih ada yang berlarian. Mungkin masa kecilnya kurang bahagia. Tapi apa peduliku? Tidak ada sama sekali. Aku masih saja duduk di bangku palng depan. Tepat berhadapan dengan meja guru. Enak tidak enak memang itu jatahku.

Untung saja teman sebangkuku cukup unik. Tak ayal beberapa guru dibuat ketawa akan kekonyolannya. Sugiarto namanya. Hebatnya, ia mampu akrab dengan siapaun, siswa, guru dan yang lainnya. Tapi terkadang kalau bertampang serius malah menakutkan. Entahlah, aku juga agak ngeri sebenarnya. Mungkin karena terlalu lebay. ah, never mind!

Jam sudah pukul 07.10 sudah seharusnya kami mendapat pengajaran untuk pagi ini. Oh my God! ternyata masih ada satu teman kami yang belum tampak batang hidungnya. Mukhlisin. Kemanakah engkau? Masih di terminalkah? Hati-hati kawan bila kamu sering telat bisa terkena sanksi akumulasi point. Yang tetu saja akan "indah" pada waktunya.

Benar saja, sesaat kemudian datanglah guru matematika yang juga wali kelas kami. Bu Ari kustami, walau background pendidikannya adalah kimia namun ditugaskan mengajar matematika. Agak janggal juga sich. Pernah suatu ketika, Bu Ari sedang begitu kurang sehat. Kebetulan pula paginya minum obat. Sehingga saat mengajar agak ngelantur. Untung saja, jagoan matematika kelas kami cepat tanggap.

Sedikit tentang kawanku yang luar biasa ini. Namanya Joni, anak seorang nelayan. Mungkin untuk tahu seperti apa dia sudah tidak mungkin lagi. Ia sudah terbaring dalam tenang. Boleh dibilang, Joni itu "Lintang" dalam karyanya Andrea Hirata, Laskar Pelangi. Kawan semoga engkau mendapat tempat yang terbaik di sisiNya. Doa kami selalu.

Setibanya Bu Ari di kelas kami, tentu bukan karena salah jadwal sehingga beliau masuk. Namun ada satu pengumuman yang sangat menyenangkan hati. Hari itu, kami harus belajar di rumah. Tentu tidak lain kita pulang gasik. Kontan kami bersorak serempak. Yess!!

Pada saat itu juga, pintu diketuk. "Assalamu'alaykum... maaf Bu, saya terlambat.."
Kelas kami tambah ricuh. Mukhlisin akhirnya tiba di kelas. Belum sempat Bu Ari menjawab dan mempersilahkan dia duduk. Bergema celetukan diantara kami. "Nggo ngapa kowe mangkat shin? bali baelah prei ikih..."
Hahaha... kami pun terbahak.

Kejadian seperti itu di kels 1F, kelasku, tak hanya terjadi sekali dua kali saja. Namun terus berulang. Setiap teman kami yang satu itu datang terlambat, dan Bu Ari muncul di kelas. Saat itu juga kami semua tahu "Hari ini pulang gasik!"

Minggu, Juli 04, 2010

Accident At Journey To The West

Benar-benar bete melakukan perjelanan kereta waktu itu. Sudah penuh sesak harus menghirup asap rokok. makin pengap saja. Memang udara di luar begitu terasa lebih dingin dari biasanya. Hingga tiga orang bapak yang duduk bersama dengan ku terus menghisap rokok.

Hingga tiba di stasiun Sidareja, naiklah beberapa rombongan orang. Salah satunya adalah seorang ibu, yang membawa dua orang perempuan untuk diajak kerja di bekasi. Seorang diantaranya masih cukup muda, paling usinya sekitar 22 tahunan.
"Mbok ya, wong lanang podho ngalah, ben sing wadon podho njagong.."
Kami berempat hanya diam dan cuek. Sekonyong-konyong si Ibu menyela duduk di bangku ku.

Aneh, Sang Ibu memperkenalkan bahwa perempuan muda itu sebagai anaknya. Namun selama mengobrol, justru jauh dari kenyataan. Bapak di depan ku yang telah membuktikannya. Sekali lagi bukan anaknya. Suasana masih sama, pengap dan penuh asap rokok. Aku batuk makin menjadi.
"Makanya mas, laen kali ga usah ke jakarta kalo lagi sakit!" celetuk si ibu.
"Ya biarin Bu lah.." cuek ku.
"Saya ada obatnya mas, mau ga?"
"ga usah lah Bu.."
"Kalo liburan ga usah jauh-jauh, cuma bikin sesak kereta ajah!"
"Sapa juga yang mau liburan?"
"Mas nya ngerokok ga?"
"Ga lah.."

Dalam hati aku menduga-duga. Kenapa si Ibu tanya rokok, ini pasti ibu itu yang merokok. Benar saja, empat orang merokok di sekitarku. triga orang bapak-bapak dan seorang ibu. Sepanjang perjalanan, si Ibu begitu sok akrab dengan para lelaki itu. Ngobrol, ngalor ngidul.

Aku makin mengutuk. Dasar ibu-ibu aneh, nyebelin banget sich, udah nyela duduk, ngerokok lagi. Bodo amat ntar klo kenapa-kenapa.

Hingga malam terus menjelang. Dan sampailah di sekitar stasiun Raja Polah. Kebetulan saja, jendela kaca bagian atas sudah tidak bertutup. "PRRAAAKKK!!"dari kereta yang baru saja melintas dari arah berlawanan melempar batu-batu kerikil. Aku yang sadar akan hal itu, segera membungkuk dan menutupkan jaket ke badan dan kepala.

Alhasil, sang ibu perokok terkena pecahan kerikil itu. Kacamata pun pecah, dan pecahannya merobek pada bagian hidungnya. Sang ibu berteriak dan perih. "Aduh.. aduh hidungku koq berdarah??"

"Astaghfirrullohal'adzim..." hati ku terus beristighfar menyesali akan kutukan ku pada ibu itu. Sang ibu berteriak minta tolong. Dan memang dari tempat duduk kami itu, yang sadar akan adanya saweran kerikil cuma aku saja. tiga orang bapak itu baru kaget setelah melihat ibu itu berdarah.

Sial, jaket dan celana ku kena banyak percik darah. Ibu itu sedikit trauma, namun tak begitu panik. Disuruhnya aku mengambil obat dan tisu di dalam tasnya. Obat yang dimaksud adalah propolis gold. Hah?? kemudian segera ku teteskan pada luka di hidung ibu itu. Dan meneteskan sepuluh tetes dalam air hangat untuk di minum sang ibu.

Sementara ku lihat, si gadis muda tadi begitu ketakutan. Seperti hendak lari menjauh. Mungkin takut disangkut pautkan dengan insiden ini. Lah?? piye tho?

Hingga pada stasiun berikutnya, si ibu beserta dua perempuan yang dibawanya disuruh untuk turun sekedar dioobati dan hendak dimintai keterangan oleh polisi. Namun si gadis begitu ketakutan. Dan tak mau turun bersama si ibu. ia lebih memeilih bersembunyi dan hendak turun di bandung saja daripada di stasiun berikut bersama ibu itu. Aneh.

Setelah ibu dan seorang perempuan bawaannya itu turun. Tiga bapak yang bersamaku, berasa begitu lega, akhirnya ibu yang sok akrab dan sok tau akhirnya turun juga. Sementara si gadis yang tak mau ikut turun menjadi bahan gunjingan orang satu gerbong.
Aku hanya berkata kepada orang-orang, "sudah.. kasihan tuh anak trauma, jadi biarkan jangan dicemooh lagi..."
"Lah gimana sich... lha wong berangkat bareng ibu itu koq ga mau turun juga..."
"Sudah... sudah..."

Nasib berkata lain, karena stasiun berikut adalah stasiun yang tergolong kecil. Tentu fasilitas kesehatan begitu kurang. Terlebih sudah begitu larut, sulit untuk menemukan dokter praktek jam segitu. Akhirnya sang ibu kembali ketempat duduk kami. Mungkin hati bapak-bapak itu berkata "yawh koq balik lagi.."

Hingga sampai bandung baru lah tiga orang perempuan tadi diturunkan. Juga beserta seorang lagi di gerbong belakang yang juga terkena saweran kerikil. Kepalanya bocor, begitu kata orang-orang.

Puas dech, semaleman tidak tidur sampai bekasi menjelang subuh. Ku naiki angkot menuju rumah paman. Sampai disana, jaket dan celana langsung ku rendam. Usai sembahyang subuh aku puas-puaskan untuk tidur. bangun jam sepuluh pagi terus pergi nyuci. wkwkwk...

@kereta 'serayu' 01072010

Senin, Maret 08, 2010

Warna Kain Kehidupan

Manusia lahir tanpa membawa apapun, ia bersih dari apapun. Ia belajar banyak dari kehidupannya di dunia. Mencintai, mengasihi sesamanya bahkan dengan makhluk citaan-Nya yang lain. Kadang, manusia tak menyadari betapa ia telah banyak merugi. Ingin menafikkan dunia tapi malah terbalut keserakahan. Malang, yang dikejar justru materi-materi keduniaan.

Maklum,manusia penuh khilaf dan lupa. Ia pernah menjanjikan sumpah setia, hanya bertuhankan Dia. Nyatanya harta dunia jadi sanjungan. Amanah dan jabatan menjadi hal yang diperebutkan. Kiblat ibadahpun telah lama berganti arah. Tak ad lagi niat ikhlas dalam beramal. Kebenaran tiada lagi ditinggikan, yang ada hanya gaung kebohongan.

Memang bukan kuasa manusia yang alan angkat bicara. Tapi setidaknya ada usaha menuju perbaikan. Apa sebenarnya waktu itu cukup, lebih atau kurang? banyak orang terjebak dengan kelengangan waktu yang dipunya. Hanya sedikit yang merasakan bahwa ia kekurangan waktu.