Sabtu, Desember 04, 2010

School Story #3 "Mimbar Haruslah Tinggi"

School Story Chapter 3 : Mimbar Haruslah Tinggi


Entahlah apa yang terpikirkan bila disuguhkan dengan satu mata pelajaran ini. Sedari masih duduk di bangku sekolah dasar hingga saat ini, tentulah kenyang perut ini. Namun sayang, ilmu tetaplah ilmu. Sekali teguk tak cukup untuk menyegarkan dahaga. Apalagi, ini adalah ilmu yang akan menolong kita dunia akhirat. Reguk sebanyak kita mampu.

Pendidikan Agama Islam (PAI). Satu yang dianggap menjenuhkan, tak setenar Matematika, maupun Bahasa Inggris. Untuk mendapatkannya sangat mudah, tak perlu membayar mahal seperti hendak les privat Matematika atau Bahasa Inggris. Bahkan bisa didapat secara cuma-Cuma. Itupun bagi yang mau, bagi yang enggan pun tetap saja ‘gratis’.

Suatu ketika, guru PAI kelas kami, Bu Umi Suprapti, memberikan tugas yang lumayan agak susah. Kami diharuskan membuat draf khutbah jum’at. Dan selanjutnya harus dipresentasikan minggu depan. Naas, kami benar-benar tak terbiasa untuk menyusun yang begituan. Terlebih sebagian besar anak cowo, rata-rata mereka jarang sekali menyimak khutbah jum’at. Lebih senang untuk mengobrol atau malah pulas tertidur.

Suasana kelas bertambah gempar, saat diumumkan bahwa itu adalah tugas kelompok. Satu kelompok terdiri dari empat orang. Agar lebih mudah digunakan sistem bangku depan belakang. Kebetulan saat itu aku sedang bertukar tempat. Aku duduk di bangku urutan kedua bersama Mbah Rinaldi Danan Jaya (hhe.. sekarang masih ubanan gak ya?). Sedangkan bangku depanku tinggal seorang, si Okta, teman sebangkunya, Ithuz, sudah ‘ngeloyor’ sebelum Bu Umi masuk.

**hmm… tapi kayaknya kalo sekarang Ithuz ga bakal ngeloyor keluar kelas lagi dech kalo lagi PAI, selamat datang ya…**

Kelas makin ramai saja, beberapa diantara kami sibuk membagi-bagi jatah kerjaan. Siapa yang akan membuat tulisan dan siapa yang presentasi di depan kelas. Kelompokku hanya bersepakat “okey.. yang penting kita buat saja dari bahan yang ada” begitu saja koq repot. Dan nanti yang menulis biar Okta. Tulisan cewe kan biasanya rajin, rapi dan jelas terbaca. So, pasti dia kan juru tulis di kelasku. Tapi tunggu, mana bahannya??

*****

Seminggu sudah berlalu, hingga tiba saatnya untuk beraksi. Entahlah, apa semua sudah siap sedia. Masih ada saja yang tak membuat. Hehe.. penyakit buruk pelajar, malas. Dengan tidak adanya koordinasi yang baik, maka kepenulisan draf pun dikerjakan si Okta. Aku pun sebenarnya juga membuat tulisan cakar ayam. Kubaca draf buatan Okta, tulisannya bagus... dan.. hmm… isinya sama dengan yang aku buat. Yo wez.. tinggal dikombinasikan saja nanti saat maju presentasi praktek ber-khutbah.

Giliran pertama adalah presentasi dari kelompok si ‘siswa kode’ dan dia pun yang maju membacakan. Pada pertemuan minggu yang lalu sebelum pengadaan tugas kelompok tersebut. Sudah dijelaskan berbagai hal mengenai khutbah jum’at. Dari rukun hingga tata cara pelaksanaanya. Mukhlisin pun telah beraksi layaknya Khotib yang biasa kami lihat tiap jum’at. Dan sama saja, masih diabaikan.

Belum lama berselang, Bu Umi menyuruh untuk mengambilkan kursi bagi Mukhlisin. Tak diduga dan siapa sangka. Dia pun langsung naik dan berdiri di atas kursi. Hendak melanjutkan khutbahnya yang tertunda tadi.

“Eitz… koq naik sich mas?”

“Lho Bu… mimbar itu kan tempat yang tinggi.”

“Hahahahahahaaaa…..”

Sontak gelak tawa terpecah dari kami memenuhi seantero sudut ruangan.

Rupanya kawanku itu lupa satu hal, bahwa dalam berkhutbah ada jeda antara khutbah yang pertama dengan khutbah yang kedua. Pada saat itu khotib boleh duduk beristirahat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar