Benar-benar tiada terduga, Puskesmas
yang dahulu selalu sepi dengan pengunjung pagi ini begitu ramai. Sepi bukan
karena sedikitnya orang yang sakit, melainkan karena ketidakpercayaan
masyarakat akan puskesmas tersebut. Dari segi pelayanan yang terkadang lama,
tidak profesional, bahkan seringnya (calon) pasien yang terkena omel para
pegawai instansi tersebut. Terlebih ada semacam sugesti dari masyarakat bahwa
jika berobat harus ke dokter ini, ke dokter itu. Hasilnya, Puskesmas tidak
laku.
***
Awal mendaftar di loket, aku sudah dikesampingkan oleh pegawai pendaftaran.
Mereka sedang bersibuk dengan masalah administrasi pasien-pasien yang sudah
mendaftar. Hingga loketpun ditutup sejenak. Menumpuk pekerjaan, mungkin itu
sebabnya. Ketika ada satu pasien mendaftar, mereka masih bersantai. “Ah, baru
satu ini. Gampang koq, bisa diurus cepet.”
Setelah loket dibuka ku segerakan mengulurkan KTP untuk mendaftar. Dan mereka
masih sibuk dengan administrasi yang tadi keteteran. Tanganku masih terjulur,
dan KTP langsung diambil tanpa ada tanya sepatahpun. Beberapa saat, si pegawai
administrasi baru menanyakan keperluanku. Ku jawab saja, surat dokter.
Dari pengalamanku yang beberapa kali selalu menjadi pasien dokter gigi,
sangat kilat, karena saking sepinya. Apalagi kalo cuma minta surat dokter,
biasanya tak pakai periksa, dokter langsung tanda tangan. Namun hari ini, hanya
untuk membuat selembar surat keterangan sehat dari dokter saja harus menghabiskan
hampir dua jam. Mulai dari mengantre sekitar satu setengah jam, karena padatnya
pasien yang hendak berobat hari ini.
Aku harus terus berdiri di ruang tunggu, bangku-bangku sudah penuh oleh
kerumun pendaftar. Tak apa, masih muda, masih kuat. Ku perhatikan, ternyata
masih ada beberapa pegawai yang lalu-lalang berjalan dalam keadaan tidak
bertugas. Bahkan ada yang baru saja membeli sayur dan lauk untuk keperluan
rumah tangganya. “Wow, santai sangat?? Ringan sekali ya kerjanya.”
Yang lebih parah, hanya ada seorang mahasiswa Akademi Kebidanan yang
sedang PKL di puskesmas tersebut. Dia harus berlarian bolak-balik dari ruang
pendaftaran ke ruang periksa, dan sebaliknya, untuk mengurus pendaftar pasien. kasian,
nasib anak PKL.
***
Tiba giliran namaku di panggil dari ruang pendaftaran. Aku kira sudah
dibuatkan berdasar KTP, tapi sayang ternyata masih harus ditanyakan identitas
dan beberapa hal-hal pribadi. Berat badan, tinggi badan, golongan darah dan
beberapa lainnya. “Memangnya identitas yang ada di KTP tidak bisa dibaca??”
“Okey, data selesai! Sekarang tinggal ke ruang periksa untuk cek
kesehatan.”
Di ruang periksa ini hanya ku dapati, si mahasiswa PKL tadi dan seorang
mantri. Ku baca sepintas nametag-nya
tertulis ‘Desti H. Azizah’ dan si mantri bernama ‘Muslih’. “Kemana
dokternya tadi?”
Si gadis akbid itu mempersilakan aku duduk untuk periksa tensi.
Kuperhatikan caranya seksama, rupanya belum mahir. Dia masih sedikit kesusahan
memasang alat pengukur. Bahkan dalam pengukuran dia pun mengulanginya beberapa
kali, seakan masih ragu dengan hasil hitungannya. Dia kaget bukan kepalang
dengan hasil hitungannya. 150/100 mmHg,
“Mas nya darah tinggi?”
Aku hanya mengernyit dahi. “Aku ini keturunan darah rendah! Mungkin
karena banyak begadang, dulu saja ketika mau donor pernah terukur 170/110 mmHg.
Tapi istirahat sebentar langsung normal kembali.”
“Hah??” gadis akbid itu terbengong.
Saking bingungnya dengan hasil hitungannya. Dia memeberikan lembar surat
dokter itu ke meja dimana ada seorang mantri bernama Muslih tadi.
“Waduh Mas? Tinggi amat?”
“Salah hitung kali tuch! Tadi pas ku ikut hitung juga normal, menurut
perhitunganku sich..”
“Ya udah, temui dokter Iip aja Mas, saya ga berani, takut mbok salah..”
“Emang dokternya lagi dimana?”
“Waahhh??? Cari aja sendiri dech!”
“???????”
***
“Oh, tadi di ruang sana. Itu gerbang masuk saja, terus lurus, tanya dech
disitu mana dokter Iip.”
Tukas seorang pegawai pendaftaran yang masih menyibukkan diri dalam
urusan pribadinya, setelah ku tanya tentang posisi sang dokter.
Kembali kulangkahkan kaki, masuk lorong pintu gerbang tadi. “Di ruang
dokter atau dimana? Tapi disini nggak ada ruang dokter.”
“Mas, sini!” terdengar seorang mbak perawat berseragam putih-putih
memanggil.
“Mau kemana?” tambahnya.
“Mau ke dokter Iip.”
“Di sini!”
“Ouh…”
“Dok, tanda tangan..”
“Sebentar.. lowh? Koq tinggi mas?”
“Salah hitung kali tuch Dok, anak PKL sich…”
“Wah.. wah.. masa setiap cowok yang periksa tensi ke mbak akbid, jadi
pada naik tensinya..” si mbak perwat menyeletuk. “Haioooo….oooo”
“Wekz??? Jelas-jelas dia yang salah ukur!!”
“Belum berkeluarga ya mas?” si dokter sok ikut-ikut nyambung.
“Ou, pantes masih Bujang siiich…” mbak perawat makin mengompori.
“Lha? Apa hubungannya mbak?”
“Nyetrum-nyetrum gitu dech… jadinya tensi naik. Hihi…”
“Hoakz!! Mataku nggak sekeranjang itu kali mbak..”
“Hah??” dahinya mengkerut mungkin bingung mengartikan kalimatku barusan.
“Ya udah, coba saya yang periksa tensinya, pasti normal, udah emak-emak gini
gak bakal nyetrum.. hihi..”
Dipersiapkannya alat ukur tensi. Sang dokter pun turut memperhatikan.
Dan kali ini hitungan menunjukkan 150/120 mmHg.
“Tuch kaann… kalo sama emak-emak ya nggak nyetrum, jadi normal kan..”
“Ah, dasar emak-emak girang!” batinku.
“Nah kalo kayak gini kan bisa saya tanda tangani!” si dokter menarik
carik kertas yang baru saja dibetulkan angka ukuran tensinya.
“Nih mas. Sudah saya tanda tangani. Juga terkait perubahannya tadi.”
“Makasih (ko)Dok.”
“Yup, sama-sama.”
Aku pun segera meninggalkan puskesmas aneh beserta penunggu-penunggu
konyolnya.Geez! Aku kena dikerjai orang sekantor! [oz]